- Back to Home »
- Belief System , Empat Pilar NLP , Outcome Framed , Outcome Thinking »
- 024: Melepas BELENGGU, BEBAS Sukses
Posted by : Excellence Manufacturing Practices
Wednesday, 12 February 2014
Melepas
Belenggu Keyakinan dalam 30 Menit
Satriawan
adalah seorang Supervisor PT. Kita Printing. Satriawan telah bekerja 15 tahun
di PT. Kita Printing. Saya bertemu dengan Satriawan beberapa bulan lalu saat
pelatihan berjudul ‘Pribadi Berdaya’. Di saat break Satriawan menemui
saya, dan bertanya bagaimana caranya melepaskan diri dari belenggu keyakinan.
Saya sampaikan ke Satriawan, untuk tidak pulang selepas pelatihan sehingga saya
bisa menjawab apa yang menjadi hambatan Satriawan.
Sebagian
besar diantara kita memiliki masalah karena kita tidak benar-benar duduk
dibelakang stir kemudian menjadi ‘Pengemudi’ atas hidup yang kita miliki. Lebih
banyak dari kita menjadi penumpang yang dibawa oleh seorang ‘Supir’ ke tempat
tujuan yang sebenarnya tidak inginkan. Itulah masalahnya. ‘Supir’ yang saya
sebut tadi adalah ‘Pikiran Bawah Sadar, Subconscious’, yang seharusnya
kita sebagai pengendali kita justru jadi penumpang. Yang seharusnya ‘Supir’ itu
mengikuti arah yang kita tentukan, tetapi malah justru menjadi ‘Boss’ yang
seenaknya melaju menggunakan ‘Peta’ miliknya. Bila ‘Supir’ tadi adalah pikiran
bawah sadar, maka ‘Peta’ adalah sistim keyakinan yang kita miliki.
Limiting
Belief atau
belenggu keyakinan ini berbentuk:
(2)
Ketidakmampuan,
(3) Rendah
diri,
(4)
Penyesalan.
“Saya tidak
yakin bisa berhasil menyelesaikan proyek ini.”
“Saya masih
muda dan belum berpengalaman.”
“Saya
memiliki masa lalu yang buruk, saya tidak mungkin bisa menjadi pemimpin.”
Pikiran
bawah sadar bekerja berdasarkan asumsi bukan fakta. Bekerja berdasarkan
keyakinan yang kita miliki. Dan itu artinya ‘Pikiran Bawah Sadar’ bisa
menghantarkan kita ketempat yang kita yakini. Bila keyakinan kita keliru,
terbelenggu dalam keyakinan yang keliru, limiting belief, maka kita bisa saja
sampai ke sebuah tempat, tetapi tempat yang tidak kita inginkan, salah alamat.
Ada sebuah teknik melepaskan
belenggu keyakinan pada pikiran bawah sadar yang disebut dengan metoda ‘Morty
Lefkoe’s [*** http://www.mortylefkoe.com …
untuk lebih lengkapnya..],
7 Tahapan Proses Pengambilan keputusan. Metoda ini akan saya ilustrasikan
dengan cerita dibawah ini, tatkala saya membantu memecahkan masalah yang
dimiliki Satriawan.
Pukul 17:20,
selepas saya membereskan pernak-pernik dan alat-alat pelatihan, saya
menghampiri Satriawan.
“Terima
kasih pak Satriawan telah menunggu saya.”
“Iya, pak.
Tidak apa-apa. Saya yang berterima kasih karena bapak telah bersedia meluangkan
waktu buat saya.”
“Kita duduk
di pojok sana saja ya, pak. Biar lebih santai dan enak ngobrolnya.”
Kami pun
melangkah keluar ruangan menuju sofa depan ruang pelatihan.
Tahap 1: Memilih topik masalah yang ingin dipecahkan untuk diubah
W: Pak Satriawan, setelah Anda merasa benar-benar nyaman untuk
bercerita silakan bapak sampaikan apa pertanyaan bapak ketika waktu break tadi.
Semoga saya bisa membantu bapak untuk lebih berdaya bagi hasil yang lebih baik.
S: Baik, pak Wawang. Sekarang saya sudah
merasa nyaman untuk bercerita.
W: Okey, monggo..silakan.
S: Saya sedang merasa jenuh, bosan untuk
bekerja, pak.
W: Apa yang bapak maksud dengan jenuh,
bosan? Boleh lebih jelas lagi, pak?
S: Semangat saya bekerja seperti meredup. Saya tidak merasakan
kegairahan lagi saat saya bekerja, pak. Sepertinya saya kehabisan energi.
W: Apakah bapak memiliki ganguan kesehatan?
S: Anu.. pak. Menurut Dokter, saya sehat.
Saya baik-baik saja, pak.
Tahap 2: Mengidentifikasi keyakinan yang menjadi penyebab (bisa
lebih dari satu)
W: Apa yang bapak rasakan sehingga membuat
bapak jenuh dan bosan?
S: Anu... pak. Saya merasa semakin tua saat
ini. 15 tahun bekerja pada pekerjaan dan bidang yang
sama.
W: Apakah pak Satriawan percaya bahwa usia
menjadikan seseorang berkurang semangatnya?
S: Ya.. itulah yang saya rasakan, pak.
Tahap 3: Mengindentifikasi sumber keyakinan (mencari tahu apakah
masa lalu, masa kanak-kanak mungkin menjadi pemicu terciptanya keyakinan itu)
W: Pak Satriawan, apakah bapak memiliki
pengalaman, mungkin ketika kecil dulu atau masa lalu
yang menjadikan bapak meyakini bahwa usia bisa membuat seseorang
lemah semangat, tidak bergairah... loyo, begitu?
S: Hmmm... ya, pak. Saya masih ingat
Almarhum Kakek. Ketika beliau mengijak usia 60, beliau
terlihat lelah, sering mengeluh cape ketika sedikit bekerja dan
sakit-sakitan. Kakek sering marah-marah tanpa sebab, merasa sebagai beban.
W: Iya, pak. Saya memahaminya. Berapa usia bapak ketika Kakek pak
Satriawan bersikap dan berperilaku seperti itu, pak?
S: Ketika itu saya... Hmmm... 8 tahun. Ya.. usia saya 8
tahun. Ketika itu Kakek tinggal serumah dengan kami, pak.
W: Apakah bapak melihat dengan jelas wajah Kakek yang mengeluh,
suara Kakek ketika marah-marah?
S: Ya, saya bisa membayangkan keadaan saat itu. Dan saya bisa
mendengar betapa judesnya suara Kakek ketika mengeluhkan dirinya sebagai beban.
Tahap 4: Meninjau ulang pemaknaan terhadap kejadian yang membuat
keyakinan tersebut pantas dipercayai
W: Pak Satriawan, bapak tadi sampaikan usia
bapak 8 tahun ketika itu. Benar?
S: Iya, pak.
W: Dengan mempertimbangkan usia bapak yang baru 8 tahun ketika
itu, saya menilai kesimpulan yang bapak ambil atas kejadian itu masuk akal.
Bapak tidak tahu banyak apa yang sebenarnya terjadi. Dan umur 8 tahun belum
memiliki kemampuan analisa masalah, mengapa Kakek berperilaku seperti itu. Dan
pak Satriawan menyimpulkan sebuah kejadian berdasar kemampuan bapak ketika itu.
Tetapi pak Satriawan saat ini sudah bukan anak-anak lagi. Jadi, saya ingin pak
Satriawan meninjau ulang, apa yang Kakek katakan kepada bapak dan cobalah
berikan saya alternatif interprestasi. Pemahaman bapak ketika itu ...kan,
"Ketika orang menjadi tua, hidupnya membosankan dan membebani".
Sekarang berikan saya pemahaman berbeda yang bisa bapak tangkap atau lihat,
dari kata-kata Kakek tadi.
S: Ya. Ketika itu kakek merasa kehilangan Nenek. Nenek meninggal
enam bulan sebelum kejadian itu. Mungkin perasaan sendiri, ditinggal belahan
jiwa menjadikan hidup ini membosankan, tidak ada lagi yang diajak bicara,
kehilangan teman hidup.
W: Apalagi, pak Satriawan?
S: Kakek sering sakit, dan ibu ketika itu yang mengurus Kakek.
Mungkin, Kakek merasa tidak enak, risih. Biasanya dilayani oleh Nenek, saat itu
segala sesuatunya ibu yang menyediakan... seperti sarapan pagi, mencuci baju...
W: Good. Bagus, pak. Ada lagi selain dua itu,
pak?
S: Meskipun kami memberikan perhatian, tetapi mungkin bagi Kakek
perhatian yang kami berikan tidak sebaik Nenek. Kakek sering merasa kami tidak
mencintai dan memperhatikan, meskipun saya ingat betul, Bapak dan Ibu sangat
perhatian terhadap Kakek.
W: Pak Satriawan, memaknai hal itu lebih
baik dibanding ketika usia bapak 8 tahun, kan?
S: Iya, pak. Saya memahami apa yang dirasakan Kakek kami saat
itu. Tekanan, perasaan kehilangan belahan jiwa, risi karena menjadi beban meski
oleh mantu dan anak. Saya memahaminya, pak.
W: Pak Satriawan, sekarang bandingkan pemahaman bapak ketika
kecil dulu dengan sekarang tentang apa yang dikatakan Kakek?
S: Ya, penilaian saya salah ketika itu, pak. Bukan karena usia
atau tua. Tetapi karena keadaan Kakek itulah yang menjadikan beliau begitu.
Tahap 5: Mengidentifikasi apakah keyakinan itu benar? Apakah
benar-benar terjadi atau itu hanya ada di dalam pikiran, rekayasa, persepsi?
W: Pak Satriawan, sekarang menjadi jelas bahwa bapak memiliki
pemahaman yang berbeda, yaitu pemahaman kala bapak di usia 8 tahun dan
sekarang. Benarkah begitu, pak?
S: Iya, benar.. pak.
W: Hingga saat ini, keyakinan pak Satriawan tentang usia dapat
mempengaruhi semangat? Semakin tua maka semangat akan menurun? Membosankan?
Benarkah seperti itu, pak.
S: Benar sekali, pak.
W: Pak Satriawan bisa melihat handphone dan jam tangan saya ini,
bapak bisa merasakannya bahwa Handphone dan jam ini benar-benar ada, nyata.
Dimana letak keyakinan bapak tentang usia tua yang menjadikan semangat itu menurun,
apakah itu ada?
S: Ya, pak. Ada. Ada dalam benak pikiran
saya.
W: Handphone dan jam tangan saya benar-benar nyata, ya pak.
Apakah keyakinan bapak itu tentang usia yang menua menjadikan semangat itu
menurun nyata, pak?
S: Tidak, itu pemahaman saya ketika saya
kecil dulu, pak.
W: Baiklah, pak Satriawan. Ijinkan saya bertanya, sekali lagi
untuk menyimpulkan tentang pemahaman bapak. Apa pemahaman bapak tentang usia,
semangat, jenuh dan kebosanan sebenarnya, pak?
S: Saya tidak lagi mempercayai bahwa usia adalah penyebab
menurunnya semangat, menjadi jenuh dan bosan, pak.
Tahap 6: Mencari tahu apakah keyakinan lama masih ada atau sudah
menjadi pemahaman baru?
W: Tidak ada perlunya menyimpan menjadi keyakinan yang salah dan
merenggut kebahagiaan yang semestinya pak Satriawan bisa dapatkan. Apakah
pemahaman yang keliru itu masih ada, pak?
S: Sudah tidak ada lagi, pak.
W: Apakah bapak bersedia untuk membiarkan pemahaman itu pergi dan
berganti dengan pemahaman baru?
S: Iya, pak. Akan saya coba.
W: Saya tidak meminta bapak untuk mencoba. Saya minta bapak untuk
bersedia melepaskan pemahaman yang keliru itu.
S: Iya, saya bersedia melepaskan
pemahaman itu.
W: Baik. Baiklah, pak. Lepaskan itu
sekarang. Biarkan dia pergi. Lepaskan... tanggalkan, pak.
S: Ya.. pak. Saya lepaskan. Sudah lepas
sekarang, pak.
W: Okey. Sekarang, tirukan kata-kata saya
setelah saya selesai mengucapkannya.
S: Baik, pak.
W: "Orang yang berusia tua akan
kehilangan semangat dan menjadikan dirinya jenuh dan bosan."
S: Orang yang berusia tua akan kehilangan
semangat dan menjadikan dirinya jenuh dan bosan.
W: Ketika bapak mengucapkan kalimat tadi,
apakah masih dirasakan kebenarannya?
S: Sama sekali tidak, pak. Pemahaman itu, keyakinan bahwa usia
tua itu kehilangan semangat dan menjadikan dirinya jenuh serta bosan
tidak ada lagi. Sudah saya tanggalkan, pak.
Tahap 7: Setelah melepas keyakinan lama, maka yakinkan bahwa
Dirinya bukan lagi sebagai Korban, tetapi Pemenang atau Penyebab bagi kebaikan.
W: Ketika di awal, pak Satriawan menyakini bahwa usia yang menua
itu kehilangan semangat dan menjadi jenuh serta bosan, di mana itu berada?
S: Dalam benak pikiran saya, pak.
W: Bagaiman itu bisa terjadi, pak?
S: Kakek saya yang menjadikannya ada, pak.
W: Kakek pak Satriawan? Saya tidak melihat dan mendengar kalau
Kakek bapak menanamkan pemahaman dan keyakinan itu pada pak Satriawan?
S: Tepatnya... saya membuat keyakinan itu,
pak.
W: Bagaimana bisa hal itu terjadi, pak?
S: Saya yang menanamkan pemahaman itu saat anak-anak, belum
memahami apa yang sebenarnya terjadi. Wawasan saya tentang keadaan Kakek dan
situasi emosi yang terjadi masih sangat terbatas ketika itu. Apalagi yang saya
lihat adalah keadaan Kakek yang tidak bahagia, marah-marah dan sering sakit,
pak.
W: Jadi, itukah yang menancap ke benak
pikiran pak Satriawan?
S: Tepat, sekali.
W: Ketika pak Satriawan menjadi korban dari
belenggu keyakinan, apa yang bapak rasakan?
S: Saya menjadi frustasi, jenuh dan bosan
bekerja. Saya menjadi cepat lelah dan kurang tenaga, pak.
W: Sekarang, apa yang pak Satriawan rasakan?
S: Saya merasa terlahir kembali, pak. Saya
memiliki keyakinan baru. Saya menjadi berdaya, pak.
W: Mana yang lebih baik menurut bapak.
Menjadi korban atau bapak menjadi penentu?
S: Saya memilih menjadi Nahkoda bagi hidup
saya, pak.
W: Sekarang bapak adalah Nahkoda. Bapak adalah penentu. Bagaimana
perasaan bapak setelah keyakinan buruk, belenggu keyakinan itu lepas?
S: Saya menjadi berdaya untuk memilih apa yang baik bagi saya.
Saya menjadi bersemangat untuk bisa bekerja lebih baik, pak.
W: Selamat, pak. Bapak telah menemukan apa yang seharusnya bapak
percayai. Bapak adalah pribadi bebas yang berdaya untuk menentukan hasil.
Anda adalah
apa yang Anda pikirkan. Apakah akan Anda biarkan belenggu keyakinan itu terus
menjerat Anda? Atau menjadi pribadi berdaya? Semua itu pilihan.
Menjadi
sukses adalah pilihan, sahabatku. Dan menjadi pribadi yang gagal adalah
kepastian bila kita tidak bisa melepaskan belenggu keyakinan buruk yang Anda
percayai.